Tuhan Sedang Bermain Dadu

Apakah Tuhan Sedang Bermain Dadu? Atau Kita yang Sedang Mempermainkan-Nya?

Celotehan Dasar

"Der Herr Gott werfell nicht," Albert Einstein

Kalimat pembuka yang mencoba membongkar pemikiran kita tentang Tuhan. Einstein menuliskan itu dengan cukup serius. Tuhan tidak sedang bermain dadu! katanya, sambil menyeruput kopi pahit sambil menanggapi surat Max Born pada tahun 1926.

Einstein menjadi sangat perfeksionis, seolah menolak segala sesuatu yang ada karena kebetulan dan ketidaksengajaan.

Kalimat tersebut seakan memunculkan paradoksal sendiri di kehidupan kita sekarang. Mari kita tengok sebentar. Bencana alam seiring datang tanpa aba-aba. Robohnya pesantren yang akhir-akhir ini viral, pun terjadi tanpa adanya tanda terlebih dahulu.

Mungkinkah kita masih bisa percaya dengan ucapan “Tuhan tidak sedang bermain dadu”? Atau mungkin, sekarang Tuhan sedang bermain dadu!

Einstein menuliskan demikian, karena ia percaya bahwa kejadian apapun di alam semesta pasti sudah ada rumusnya. Dan Tuhan adalah matematikawan profesional, bukan penjudi kosmik yang iseng melemparkan nasib manusia.

Tapi sekarang, seluruh manusia menuntut segalanya dengan instan. Kita masih sering meminta rezeki, tapi kita tidak taat pada-Nya. Kita sering memohon ampun, sedangkan kita masih terus melakukan kesalahan yang sama. Dan kita suka ngedumel kalo doa kita tak pernah dikabulkan.

Keironian paling suci dalam kehidupan modern rupanya. Ketika kita akan merasakan kehadiran Tuhan bersamaan dengan hadirnya doa-doa yang kita panjatkan, cepat dan pasti.

Kebobrokan semacam ini lah, membuat saya mengajukan pertanyaan penting: Apakah benar Tuhan tidak sedang bermain dadu? Atau kita, justru yang buta membaca pola permainan-Nya?

Keterbatasan otak kitalah yang tak bisa menjangkau permainan-Nya, padahal di balik itu semua ada pola mekanisme Agung yang tak bisa dijangkau oleh Matematika, Teologi, bahkan Iman itu sendiri.

Rasionalitas yang Retak!

Ketika Einstein mengeluarkan statement mewah, ia sedang melugaskan keyakinannya bahwa segala realitas yang ada patuh pada rasionalitas Ilahi. Ia percaya, Alam semesta ini bekerja dengan hukum-hukum pasti dan dapat dipahami oleh akal manusia.

Statementnya bukanlah ekspresi teologis konvensional, melainkan refleksi dari kosmoteologis. Baginya Tuhan adalah arsitek agung yang kuasa menata jagat raya dengan presisi sempurna.

Einstein mewarisi pandangan Deterministik darik Isacc Newton dan Baruch Spinoza. Ia percaya terhadap Deus Sive Natura. Spinoza mengidentifikasi kalimat tersebut sebagai “Substansi Abadi”, yang tidak membutuhkan substansi lain untuk keberadaan-Nya, yang kemudian disebut dengan Tuhan.

"As God is being absolutely infinite, of whom no attribute that expresses the essence of substance can be denied,"

Dalam suratnya kepada Max Born (1926), Einstein menuliskan kalimat bombastis,

“Quantum mechanics is certainly impressive. But an inner voice tells me that it is not yet the real thing. The theory says a lot, but does not really bring us any closer to the secret of the Old One. I, at any rate, am convinced that He does not play dice,” (Albert Einstein, The Born Einstein Letters, 1971)

Kalimat “The Old One” merujuk pada Tuhan, bukan sebagai personal yang intervensif, tapi sebagai simbol keteraturan kosmik.

Baginya, Tuhan adalah metafora bagi Rasionalitas tertinggi, bukan sebagai entitas mistik yang mengatur segala hal secara acak. Menurut tafsir sederhana saya, kepercayaannya berdasarkan pada Keyakinan metafisis terhadap keteraturan universal.

Kuantum dan Lahirnya Ketidakpastian

Pada awal abad 20, statement itu diporak-porandakan dengan munculnya Mekanika Kuantum yang dibangun atas prinsip ketidakpastian, oleh Werner Heisenberg (1927).

Heinsenberg mengajukan tesis, semakin akurat kita mengetahui posisi sebuah partikel, semakin tidak pasti juga kecepatan atau momentumnya, begitupun sebaliknya.

Dengan demikian, ia meyakini bahwa realitas paling dasar tidak sepenuhnya bisa ditentukan secara pasti, dan hanya mampu diprediksi secara Probabilistik.

Tokoh utama aliran Kopenhagen, Niels Bohr, dengan tegas menolak deterministik Einstein dan mengajukan prinsip Komplementaritas, bahwa cahaya dan materi dapat berperilaku sebagai partikel tergantung dengan cara pengamatan.

Secara epistemologis, Heinseberg dan Bohr mengguncang fondasi rasionalisme klasik. Ternyata, rasionalitas tidak tunduk sepenuhnya pada determinis matematis, melainkan mengandung ketidakterdugaan ontologis. (Butuh rokok dua bungkus dan lima gelas kopi, untuk saya memahaminya)

Rasionalitas Ilahi dalam Teologi Islam

Sekarang saya beralih ke teologi Islam. Dalam teologi Islam, Tuhan tidak dipahami sebagai Entitas Arbitrer (konsep mengadakan sesuatu secara kebetulan).

Seluruh ciptaan yang ada tunduk pada sistem yang terukur dan terencana. Tuhan berfirman dalam surat Al-Qomar ayat 49:

"Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran dan dengan ketetapan yang sudah ditentukan," (QS. Al-Qamar:49)

Ayat ini secara lugas menyatakan, semua tatanan alam semesta memiliki hikmah dan ketentuan, sehingga menyiratkan kepastian rasionalitas Ilhai.

Tafsir sederhana saya menyatakan, rasionalitas dalam teologi Islam tidaklah memisahkan Tuhan dari ciptaan-Nya, tetapi rasionalitas yang menghubungkan keteraturan alam dengan kehendak dan ketentuan Tuhan.

Tafsir saya ini, sesuai dengan Spinoza yang menuliskan “Deus Sive Natura”, Tuhan tidaklah terpisahkan dari Ciptaannya.

Dalam konteks ini, alam semesta bukanlah mesin otomatis seperti yang dibayangkan para mekanistik Cartesian, melainkan Manifestasi kehendak sadar Sang Pencipta.

Al-Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya Ulum al-Din dan Tahafut al-Falasifah, mengkritik dengan tajam terhadap pandangan Filsuf Yunani yang mentuhankan hukum kausalitas (sebab-akibat).

Baginya, sebab-akibat bukanlah hukum mutlak yang berdiri sendiri. Itu adalah kebiasaan Ilahi untuk mengatur tatanan dunia.

Dalam Tahafut al-Falasifah, Ghazali menuliskan dengan tegas, “Sebab-akibat bukanlah sebuah keharusan. Allah-lah yang menciptakan kebiasaan antara sebab-akibat, dan bukanlah alam itu sendiri.”

Tulisannya membongkar asumsi filsafat Aristotelian yang menuhankan kausalitas. Dengan beraninya, Ghazali menentang habis determinisme materialistik. Ia mengembalikan seluruhnya pada kehendak absolut Tuhan, yang rasionalitas-Nya tidak dapat dijangkau oleh nalar manusia.

Ada hal menarik, ketika Einstein menuliskan “Tuhan tidak sedang bermain dadu”, sebenarnya ia sudah masuk ke dalam pemahaman teologi tanpa sadar.

Einstein memang tidak mempercayai Tuhan secara personal, tetapi ia percaya bahwa keteraturan kosmik pasti memiliki hukum dan ketentuan.

Betul adanya, pernyataan tersebut mencerminkan pandangan deterministik, tapi jika dibaca menggunakan kacamata teologi Islam, kalimat einstein dapat saya katakan sebagai pengakuan terhadap hikmah Ilahi. Segala sesuatu memiliki tujuan dan berjalan sesuai ketentuan, bahkan ketika manusia itu sendiri belum mampu mengungkapnya. (Menurut tafsir sederhana saya)

Ketidakpastian Sebagai Ruang Iman

Jika bagian sebelumnya mengupas rasionalitas Ilahi sebagai perancang tatanan semesta yang penuh makna, kini kita beralih pada sisi lain dari rasionalitas, yaitu Ketidakpastian.

Alam semesta sudah teratur dengan rapinya, tapi tidak semua manusia mampu memahaminya secara rasional. Pasti selalu ada hikmah dibalik penciptaan-Nya.

Mengapa Tuhan menciptakan nyamuk? Mengapa Tuhan menciptkan babi, padahal babi itu haram untuk dikonsumsi? Contoh kecil di sekitar kita, dan pasti ada hikmah di baliknya.

Andaikan Tuhan tidak menciptakan nyamuk atau serangga, niscaya tidak ada hadits yang menjelaskan tentangnya. Andaikan Tuhan tidak menciptakan babi, niscaya kita tidak akan tahu ada bakteri yang menyebabkan meningitis atau masalah saraf (Streptococcus Suis).

Søren Kierkegaard, Filsuf Eksistensialis Kristen asal Denmark, adalah tokoh yang memprakarsai konsep paradoksal antara iman dan rasionalitas.

Dalam karyanya, Fear and Trembling (1843), ia menuliskan tentang manusia terhebat (Abraham) di muka bumi, yang rela mengorbankan anaknya demi entitas tak terlihat.

The Sacrifice of Issac
Lukisan The Sacrifice of Issac, karya pelukis Belanda Rembrandt van Rijn (1635). Lukisan monumental dalam tradisi Yahudi, Kristen, sampai Islam, Peristiwa perintah Tuhan kepada Ibrahim (Abraham) untuk mengorbankan putranya.

Baginya, tindakan Abraham merupakan The leap of faith atau Loncatan Iman, sebuah keberanian melompati ketidakpastian mutlak demi mempercayai Tuhan di atas nalar.

“Faith is precisely the contradiction between the infinite passion of the individual’s inwardness and the objective uncertainty,” (Fear and Trembling, 1843).

Menurut tafsir sederhanaku, tanpa adanya ketidakpastian, iman hanyalah dugaan semata, bukan pengalaman eksistensialis, seperti yang dilakukan Abraham.

Melalui karyanya, Kierkegaard menuliskan epilog mewah, Iman adalah hasrat terdalam manusia. Manusia tidak akan pernah berhenti mencari dan memahami imannya, jika ia berhenti, maka imannya tidak akan meningkat. Iman itu sifatnya dinamis, kadang turun dan kadang naik. Iman bisa meningkat ketika kita mencari dan menggali, sedangkan iman bisa turun ketika kita berhenti untuk mendalami.

Ketidakpastian Dalam Teologi Islam

Jika di atas saya memaparkan sedikit perihal ketidakpastian dari tokoh barat, maka sekarang kita bahas dalam konteks teologi.

Saya buka dengan konsep iman bil Ghaib (percaya kepada yang ghaib). Islam menegaskan konsep ini sebagai ketidaktahuan menjadi bagian integral dari kepercayaan.

Setelah Al-fatihah, kita diperintahkan percaya kepada hal-hal ghaib, yang mungkin belum pernah kita temui bahkan rasakan. Surga-Neraka contohnya.

Ketidakpastian di atas, bukan sekadar ketidaktahuan secara empiris, melainkan pengakuan eksistensialis bahwa hakikat Tuhan, takdir, dan masa depan, tidak sepenuhnya diketahui oleh manusia secara konkret.

Sehingga saya menafsirkan, percaya kepada hal ghaib bukan bentuk kelemahan epistemologis, tapi bentuk kerendahan ontologis manusia kepada Sang Pencipta yang Maha Tahu segalanya.

“The unseen (al-ghaib) is not an absence but a divine dimension of reality that resists human comprehension. Faith in the unseen is not ignorance; it is acknowledgment of the limits of reason,” (Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an: 1980).

Di lain sisi, Pemikir Andalusia, Ibn Arabi, membawa dimensi teologis ketidakpastian ke tingkat metafisis yang lebih dalam.

Ibn Arabi menuliskan dalam kitab Futuhat al-Makkiyah, Tuhan tidak dapat diketahui secara sempurna, sebab hakikat-Nya berada jauh dari jangkauan rasio manusia.

Ia menganggap, setiap pengetahuan manusia tentang Tuhan bersifat “Tajalli”, penampakkan sementara realitas Ilahi yang tak pernah sepenuhnya dapat didefinisikan.

"Tuhan tidak akan pernah dikenal, kecuali melalui ketidaktahuan terhadap-Nya," (Ibn Arabi, Futuhat al-Makiyyah)

Menurut tangkapanku, ketidaktahuan di sini bukan berarti nihilistik, melainkan bentuk tertinggi dari Makrifat (pengetahuan spiritual). Saat manusia mengakui bahwa ia tak dapat memahami Tuhan dengan sempurna, saat itu juga ia mulai benar-benar mengenal Tuhannya.

Ketidakpastian bukanlah bukti bahwa Tuhan bermain dadu, Melainkan metode Tuhan dalam mendidik manusia untuk memahami bahwa iman tidak lahir dari kepastian, tapi dari keberanian seseorang untuk terus mendalami dan mempelajarinya.

Penutup: Tuhan dan Permainan yang Tak Pernah Usai

Pada akhirnya, celotehan mengenai “Tuhan tidak sedang bermain dadu”, bukanlah persoalan fisika semata, melainkan tentang manusia memahami kehadiran Tuhan di balik keteraturan dan kekacauan semesta.

Einstein benar, bahwa Tuhan tidak sedang menciptakan semesta dengan melempar dadu, sekaligus keliru, karena ia berpikir rasionalitas manusia mampu menjangkau semua rahasia Tuhan.

Begitu pula Ghazali, ia benar karena menekankan hukum kausalitas bukanlah murni ada dengan sendirinya, melainkan ada strategi Tuhan di dalamnya.

Benar pula apa yang dituliskan Ibn Arabi, bahwa hakikat Tuhan tak dapat dijangkau secara sempurna oleh logika manusia.

Ini mengingatkan saya pada konsep Theology of Uncertainty, yang dikembangkan Paul Tillich dan Kierkegaard. Iman bukanlah kepastian logis, melainkan keberanian seseorang untuk berdiri di tepi jurang ketidaktahuan, kemudian melompat dengan keyakinan penuh bahwa ada substansi abadi yang selalu memperhatikan kita.

Kedua kutub yang berbeda ini mampu menjadi alternatif menuju kesadaran yang sama, yaitu semesta ini ada bukan karena kebetulan, akan tampak seperti kebetulan bagi mereka yang belum mempelajari esensi terdalamnya.

Saya coba menutup tulisan ini dengan Celotehan Amatir,

“Tuhan tidak sedang bermain dadu, tapi Ia sedang mengarjakan kita membaca makna dari kekacauan, mencari kepastian dari keraguan, dan merasakan kehadiran-Nya di setiap getaran yang tampak tak beraturan.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *