Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

PENDIDIKAN INDONESIA TIDAK PERNAH BERUBAH!!!

Apa yang ada dipikiran kalian setelah membaca kalimat tersebut? Marah? Kesel? Jengkel? atau bahkan Merenung? Berpikir sejenak? Evaluasi sistem yang ada?
Jika Respon negatif yang keluar dari Amatirean sekalian, SELAMAT kalian sudah terjebak pada “Kata Pembuka saya”.
Jika respon positif yang terasa oleh kalian, SELAMAT kalian sudah menjadi sosok yang berpikir. Tapi jangan senang dulu, itu bukan keberuntungan, melainkan kemunafikan.
Apakah kalian (merespon positif) yakin akan bertahan dengan idealisme kalian sampai ajal menjemput? Atau Idealisme kalian akan tergadaikan oleh mereka yang berkata, “Jalanin, ya. Bapak/Ibu, kami jamin hidup kalian akan berubah menjadi lebih baik,”
Waspadalah, terkadang hidup itu seperti dua mata pedang tajam. Kadang berguna untuk membunuh musuh, dan terkadang pedang itu akan membunuh kalian sendiri.
Sudah berabad-abad Indonesia hanya menjadikan kelas sebagai tempat pemakaman ide-ide kreatif pelajar. Ide-ide segar yang layu ketika sudah di dalamnya.
Kreativitas dan Critical Thingking dimakamkan atas dasar “Supaya pembelajaran tertib,” dan sikap eksploratif siswa dibunuh dengan kurikulum kaku.
Tanpa sadar, banyak guru mempunyai kepribadian ganda sebagai Guru dan Algojo. Mereka tidak sadar sedang menjadi Algojo yang membunuh pemikiran kritis siswa.
Penilaian yang mereka ambil hanya berdasarkan kognitif siswa, tanpa kita tahu apakah mereka benar-benar pintar, atau berpura-pura pintar dibalik angka rapot.
Dan keironian yang kerap terjadi adalah “Guru adalah pahlawan tanpa jasa”, tagline suci dari mereka Penjaga status quo pengetahuan. Takut pada perubahan, resah pada pertanyaan, dan alergi terhadap keterbaruan.
Ketika siswa menyampaikan argumen diluar buku pelajaran, seolah mereka sedang menantang logika mutlak dan dianggap sebagai “Pemberontak Pengetahuan”. Seolah berpikir kritis itu adalah dosa besar yang nantinya diadzab Tuhan.
Padahal, Tuhan sendiri di dalam Firmannya memerintahkan kita untuk “Berpikir” agar tidak tersesat dan tidak mengalami kesalahan yang sama (ibroh).
Pada kondisi ini lah, John Dewey hadir sebagai Martir pengetahuan bagi ketenangan sistem kuno. Ia menentang tradisi Paedagogie berdasarkan Hafalan dan Teks Book.
Dewey menyadari, sejatinya pendidikan itu bukan proses “Mengisi gelas kosong”, tapi “Menghidupkan kesadaran berdasarkan pengalaman”. Ia mengajarkan rutinitas belajar tidak boleh dipenjara dalam buku, melainkan harus menjadi pengalaman hidup siswa yang penuh dinamika, percobaan, bahkan kesalahan yang akan mereka pecahkan sendiri.
Di balik pandangan Filsafat Pragmatisme yang dianutnya, ia menekankan pengalaman (experience) dan refleksi (reflection) sebagai dua sumbu utama untuk memperoleh pengetahuan.
Dewey menekankan Reflective Thingking untuk melahirkan Pengalaman dan Makna terdalam, dari sini akan lahir semboyan sucinya Learning by Doing yang berarti Pendidikan itu bukan persiapan hidup, melainkan Kehidupan itu sendiri (education is life itself, not preparation forlife).
KALIAN HARUS IKUTI ATURAN!!! TIDAK BOLEH BERTANYA, HARUS TUNDUK DAN PATUH!!!
Kalimat yang sering ku dengar ketika di dalam kelas. Meskipun Indonesia sudah mengalami pergantian kurikulum yang beragam, tapi jiwa OTORITATIF MUTLAK nya masih berasa.
Kurikulum Merdeka, bahkan sampai Deep Learning yang katanya menjadikan siswa sebagai “Obyek” dan guru menjadi “Fasilitator” masih tetap sama.
Masih banyak saja guru yang menjadi “Khotib Jumat” berbicara sendiri, sementara siswa hanya menjadi pendengar setia, tidak dapat membantah ataupun menambahkan.
Inilah yang dituliskan Dewey, sistem pendidikan tradisional hanyalah metode lain untuk menciptakan keterasingan intelektual siswa.
Tambahnya, pendidikan yang hanya mengedepankan hafalan teks tanpa pengalaman langsung akan berakibat fatal. Apa akibatnya? Akibatnya, lahirlah generasi yang tunduk patuh tapi tak kritis, rajin namun tak reflektif.
Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan, tetapi tidak tahu apa alasannya mereka melakukan hal tersebut. Parahnya, muncullah generasi baru yang tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
Hal ini tak dapat dipungkiri, warisan sistem kolonial masih terus hidup di sistem pendidikan kita. Model pengajaran birokratis dan berorientasi pada ujian justru meniru sistem yang dulu dirancang untuk mencetak pegawai patuh, bukan warga yang berpikir kritis.
Pada sistem sekolah, Dewey menyebutnya sebagai “Penjinakkan Manusia”, mengapa demikian? Karena sekolah dijadikan sebagai tempat menanmkan kepatuhan, bukan menumbuhkan kesadaran.
“Tapi kan kita tidak pernah nyuruh mereka buat tunduk dan patuh. Kalo mao nanya, ya nanya ajah”
Memang kalimat itu benar, tidak salah. Namun keliru. Mereka mungkin kaga ngelarang, tapi karakter kalian di kelas itu menjadi simbol Otoritas Mutlak Pengetahuan. Nuduh ini mah? Bukan. Mari buktikan.
Pertama, seberapa sering anda membuka sesi tanya jawab?
Kedua, seberapa sering anda membuka ruang diskusi bersama siswa?
Ketiga, seberapa sering anda membiarkan siswa berdiri di depan layaknya guru dan anda di belakang layaknya murid?
Terakhir dah, seberapa sering anda menjelaskan materi yang dikaitkan dengan pengalaman dan fenomena kehidupan?
MARI RENUNGKAN BERSAMA!!!
Pernahkah kita berpikir, banyak siswa ketika lulus dituntut menjadi “Apa”. Harus jadi ini, jadi itu, jadi onoh. Dewey tidak ingin manusia diperlakukan seperti produk pabrik yang keluar dari jalur pembuatan menjadi Seragam dengan fungsi tertentu.
Pendidikan sejati bukanlah proses mencetak, Tapi proses pertumbuhan. Bertumbuhnya kesadaran, kepekaan analisis sosial, dan kemampuan untuk terus belajar sepanjang hidup.
“Education is not preparation for life but for life itself,” John Dewey.
Pernyataan singkat itu mungkin terlihat sederhana, tapi hakikatnya mengubah pola pikir kita dalam memahami Pendidikan.
Banyak sekali sekolah di Indonesia menjadikan pendidikan sebagai “Tangga menuju pekerjaan”, bukan hanya sekolah versi formal, sekolah-sekolah non-formal pun sama. Seperti sekolah kader yang dijalankan Organisasi-organisasi kampus.
Sering kali kita terlena, banyak sistem pendidikan yang menanamkan rasa takut gagal, tapi minim menanamkan mental mencoba. Siswa dibiasakan dapat rangking dan juara, tapi lupa caranya menghadapi kekalahan.
Dengan kedangkalan pengetahuan saya, akhirnya saya menemukan solusi agar sistem pendidikan kita keluar dari zona nyaman, maka orientasi yang diciptakan bukan “menghasilkan tenaga kerja”, melainkan “menumbuhkan manusia pembelajar”.
Guru bukan lagi menjadi “Khotib Jumat”, tapi menjadi “penyulut kesadaran siswa”. Sebab, pada akhirnya tugas pendidikan bukan menciptakan manusia yang tahu segalanya, tapi menjadi manusia yang selalu ingin tahu dan tidak berhenti bertumbuh.
Saya akan mencoba memantik kalian dengan pertanyaan “Mengapa kita harus sekolah?”, pertanyaan singkat tapi sering kali membuat kita lupa.
Untuk apa sekolah jika orientasinya hanyalah “Pekerja”, padahal masih banyak orientasi yang bisa kita bentuk agar siswa memahami hakikan pendidikan dengan utuh.
Barangkali, ketika kita semua mulai memahami pertanyaan itu dan bisa menjawabnya dengan bijak, barulah harapan baru dengan memandang sekolah sebagai tempat di mana kehidupan itu sendiri berlangsung, dengan segala dinamika dan solusi yang beriringan.