Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Pada malam yang terus-menerus ditangisi langit ini memanggil saya untuk membuat tema “Kobong Sosialisme”. Bertepatan dengan beberapa kejadian yang sedang melanda Kota Bekasi (khususnya) akhir-akhir ini. Tak hanya itu, bertepatan pula dengan bulan suci Ramadhan di mana kebersamaan di kedepankan pada bulan ini. Jadi menarik sekali untuk membahas “Kobong Sosialisme”.
Bulan suci ini selalu menjadi momentum penting bagi umat Islam untuk kembali kepada nilai-nilai dasar keislaman; Kesabaran menahan lapar dan dahaga hingga tergelincir matari (dibaca: matahari), Kepedulian sebagai bentuk hubungan sosial sesama makhluk Tuhan, Keadilan untuk semua makhluk sosial tanpa terkecuali, serta merevitalisasi ulang bentuk solidaritas sosial.
Ramadhan mengajarkan kita untuk ikut serta merasakan penderitaan orang-orang yang terpinggirkan melalui Puasa. Melalui perantara ini, kita juga dapat meningkatkan kepedulian sosial dengan menunaikan zakat, sedekah, dan berbagi kepada orang-orang yang membutuhkan.
Akan tetapi, di balik indahnya keharmonisan spiritual, masih ada saja kelompok-kelompok yang tidak menjalankan nilai-nilai dasar dalam Islam. Orang-orang terpinggirkan masih terlihat berkeliaran di hadapan kita. Membuka pemikiran terhadap Realita Sosialisme di Pesantren
Kobong atau berkembang menjadi Pesantren merupakan instansi pendidikan non-formal Islam tertua di Nusantara yang telah melahirkan banyak tokoh-tokoh besar dalam literatur keislaman dan berperan dalam memperjuangkan hak-hak sosial, politik, dan keagamaan. Dalam ranah pesantren tak lagi asing dengan sebutan kobong. Kobong sendiri diambil dari bahasa Sunda “Terbakar” atau “Hangus”.
Istilah kobong ini sering kali digunakan, karena pada zaman dulu bangunan pesantren hingga tempat tidurnya hanya terbuat dari kayu, bambu, rotan, dan jerami yang sangat mudah terbakar. Namun, seiring perkembangan zaman sudah jarang terdengar istilah kobong, karena banyak pesantren yang sudah megah dan mewah, tetapi esensi kobong itu masih hidup di denyut nadi para santri.
Tradisi kobong dalam dunia pesantren dimulai dari sistem pendidikan Islam abad pertengahan. Modelnya hampir mirip dengan ribath di Arab atau madrasah di Persia, tempat tinggal bersama para pelajar untuk menuntut ilmu dari seorang tokoh atau ulama. Dalam konteks Nusantara, model ini berkembang pesat melalui pengaruh Wali Songo dan ulama yang membangun pesantren sebagai pusat pendidikan Islam.
Akses pendidikan di era kolonialisme Belanda sangat terbatas. Instansi pendidikan yang ada kala itu hanya dikhususkan untuk kelompok berkulit putih atau kelompok pribumi yang berpengaruh, sehingga pendidikan tidak merata kepada seluruh kelompok pribumi. Apalagi pribumi berstatus jelata. Meski begitu, bukan berarti kelompok pribumi tidak bisa mengakses ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, berdirilah instansi pendidikan bernama “Kobong atau Pesantren”.
Pendidikan berbasis agama ini berkembang sangat pesat di Indonesia sejak era kolonialisme Belanda, sehingga timbul keresahan bagi kelompok penjajah. Kolonial menilai pendidikan agama yang dilaksanakan di kobong menjadi ancaman bagi mereka.
Ki Hadjar Dewantara salah satu tokoh yang memuji sistem Pesantren pada tahun 1922. Pesantren merupakan sistem pendidikan yang terbilang cukup bagus karena tidak hanya mengajarkan intelektual, tetapi diajarkan peka terhadap situasi dan kondisi kala itu. Tak hanya itu, pesantren juga contoh pendidikan yang merdeka (sistem kebijakan kala itu). Lembaga pendidikan yang tidak bisa diatur oleh Belanda sedikitpun.
Terlebih banyak sekali keuntungan yang didapat dari sistem Pesantren, seperti biaya yang tidak terlalu mahal, tidak sulit dalam segi tempat karena sudah disediakan kamar atau tempat tidur. Pendidikan yang didapat di sana tidak hanya ilmu agama, melainkan ilmu pengetahuan seperti Hukum, Sosial, dan lain sebagainya.
Pada masa revolusi kemerdekaan Pesantren seperti Tebuireng, Lirboyo, Gontor dan masih banyak lagi menjadi basis perlawanan dengan mencetak tokoh-tokoh yang berperan aktif dalam pergerakan nasional. Sistem kebersamaan di Pesantren kala itu sangat berdampak pada negara.
Istilah “Sosialisme” yang dikaitkan dengan kobong sering kali ditemukan dalam literatur Islam secara tidak langsung. Tetapi bukan seperti “Sosialisme” yang dipahami Karl Marx ataupun Lenin. Nilai-nilai sosialisme seperti liberte, egalite, fraternite, kerap dirasakan di dunia Pesantren.
Di kobong, tidak ada kepemilikan individu secara absolut. Apa yang dimiliki seorang santri sering kali digunakan bersama. Kitab-kitab berpindah tangan, makanan (timbel) sering kali digelar bersamaan, piket kobong dilakukan bersama, hingga peralatan mandi seperti sabun, sampo, terkadang berbagi. Tidak ada santri yang dibiarkan sendirian di Pesantren.
Konsep sosialisme inilah yang sering dilakukan di dunia Pesantren hingga bertumbuh secara alamiah– tanpa paksaan dan tanpa aturan. Tidak ada dikotomi kelas yang menindas di sini.
Selain itu, kobong juga mengajarkan sistem ekonomi berbasis kebersamaan. Santri yang tak memiliki cukup kebutuhan sering kali dibantu oleh temannya, baik dalam bentuk materi maupun non-materi. Di beberapa Pesantren banyak koperasi santri yang berkembang sebagai upaya kemandirian ekonomi untuk menghindari eksploitasi pasar kapitalis.
Santri diajarkan saling menopang, membantu, bukan untuk bersaing secara individualistis sebagaimana yang sudah lumrah dalam sistem ekonomi pasar bebas melalui Adam Smith.
Kesederhanaan sebagai pilar kehidupan santri
Kobong mengajarkan bahwa kehidupan tidak selalu diukur dari kemewahan harta. Santri di kobong belajar hidup mandiri dengan fasilitas yang minim; tidur di tempat seadanya, kipas digunakan bersamaan, berbagi makanan kepada sesama, saling tukar cerita senang maupun duka. Kesederhanaan ini merupakan bentuk latihan mental untuk mengahadapi realitas hidup yang sesungguhnya.
Dalam Islam, kehidupan yang sederhana sering kali dikorelasikan dengan konsep Zuhud, sebuah sikap untuk menjauhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan. Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 201:
“Ya Tuhan Kami, berikanlah kami kebaikan di dunia, juga kebaikan di akhirat. Dan peliharalah kami dari siksa Neraka.” (Q.S. Al-Baqarah:201)
Bukan berarti tidak boleh mencari kesenangan dunia, tetapi menurut Imam Syafi’i “Dunia cukup di tangan saja, jangan sampai masuk ke dalam hati”. Tetap menyeimbangkan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi.
Kebersamaan dan Gotong Royong
Di dalam kobong, memang ada perbedaan kelas seperti Mts dan MA, tetapi esensi kebersamaan tidak luput hilang. Santri dari latar belakang ekonomi atau kasta yang berbeda tetap hidup dalam satu atap bernama “Pesantren”.
Berbagi, saling membantu, dan menjalankan tugas kolektif seperti membersihkan lingkungan pesantren, memasak (di pesantren tertentu), hingga menjaga keamanan pesantren. Itu semua mereka kerjakan atas dasar “Kebersamaan”.
Salah satu nilai-nilai sosialisme Islam yang dicerminkan di kobong adalah “Gotong Royong”, di mana kesejahteraan tidak ditentukan dengan kepemilikan individu, melainkan oleh kesadaran untuk saling menopang. Kobong menjadi tempat penanaman bibit prinsip hidup. Bukan hanya tentang diri pribadi, tetapi juga tentang orang lain (kebersamaan).