Dupa Asing Yang Disembunyikan di Aurelia

“Perempuan yang baik bukan hanya menjaga rumahnya. Tapi menjaga keberadaan suaminya.” Inilah derita hidupku.

Usianya sudah tidak belia lagi.

Dupa Asing
Perempuan tigapuluh delapan tahun bernama Lysandra

Tigapuluh delapan Tahun sudah usianya. Usia ketika kecantikannya tidak perlu dipamerkan lagi, dan kebijaksanaan tak perlu diumumkan kembali. Tubuhnya ramping. Tapi tidak lemah. Ada letih yang tertanam jauh di matanya, letih yang tak datang dalam semalam.

Namun dibentuk oleh tahun-tahun kesabaran yang dipaksa. Ia berasal dari keluarga Demetrion. Keluarga ternyohor yang dulu dihormati. Keluarga para pengrajin patung kuil, dan penjaga tradisi para leluhur. Orang-orang yang mengukir wajah dewa dengan ketelitian tinggi dan hati yang jernih.

Malam itu, kota kuno Aurelia, kota menua seperti nenek moyang yang terlalu lama hidup. Kota yang dipenuhi pilar marmer dengan kondisi retak. Patung dewa yang matanya tertutup kain hitam. Dan Masyarakat yang sering berbohong daripada bernapas. Lysandra duduk terdiam di tangga-tangga rumahnya, sambil menatap api yang berkobar dengan gagahnya.

Api itu mengecil dan membesar. Memberi isyarat tajam antara hidup di surga atau di neraka. Seolah kabar baik ditangguhkan, dan kabar buruk sudah menunggu ditikungan Aurelia. Panasnya ayam jago tak sedikitpun melukainya. Justru, kesendirianlah yang menusuk uluh hatinya.

Kesendirian datang seperti burung gagak yang setia, selalu tiba saat Kisios, suaminya, tokoh Masyarakat yang paling dihormati dan disegani di Aurelia, pulang terlalu larut. Bahkan tak kunjung tiba sama sekali.

Lysandra tumbuh dalam lingkungan yang keras. Ibunya seorang Perempuan bijak yang tau kapan harus ngomong dan kapan harus diem, melihat kondisi sekitar yang amburadul. Lewat ibunya ia belajar menahan amarah, menahan kata, menahan diri. Sampai terlena bahwa Perempuan juga berhak mengeluarkan unek-uneknya.

Dan sejak menikah dengan Kaisios dua belas tahun silam, ia semakin mahir menahan segala sesuatu yang padahal hancur berkeping-keping di dalam dirinya.

Belakangan, Lysandra mulai mengendus sesuatu yang ganjil dari suaminya. Bukan dari lisan sucinya, karena kesuciannya terkadang lebih lincah dari cheetah yang mengejar mangsanya. Ia mengendus dari arang nasihatnya. Dari suara langkahnya. Dan dari aroma dupa asing yang nyantol di jubah suaminya.

Bukan dupa kuil, apalagi dupa Kerajaan

Dupa Asing

Tapi dupa asing, aroma yang biasanya hanya ditemukan di kamar-kamar pemudi akademia. Tempat para gadis belajar menafsir mimpi dan mencari keberuntungan.

Seketika itu, Lysandra menegakkan tubuhnya dan menahan napas. Di luar, langit Aurelia seperti periuk hitam yang mendidih. Pintu rumah tetap tertutup. Ketukan yang ia tunggu tak kunjung mengetuk. Semakin lama ia menunggu, semakin dalam rasa retakan halus di dadanya. Retakan yang tidak memekik, tetapi menggerus secara perlahan.

“Mengapa para lelaki bijak selalu pandai berkhotbah tentang kesetiaan,” bisiknya lirih, “tetapi paling buruk dalam mempraktikkan satu ayat sederhana. JANGAN BERBOHONG?”

Aurelia mengenalnya sebagai “Istri Sang Kyros”, gelar yang tampak mulia, seolah ia berdiri satu Langkah di bawah takhta para dewa. Padahal, gelar itu adalah peti emas yang menyembunyikan luka. Orang-orang memujanya tanpa peduli bahwa ia hidup dalam rumah yang semakin terasa seperti kuil kosong tak berpenghuni.

Beberapa hari setelah malam sunyi itu, ketika matahari Aurelia tampak seperti Api unggun yang malas menyalakan sinarnya. Seorang gadis cilik, sekel, nan cantik melangkah masuk ke rumah Lysandra. Nikandros. Anak yang dipungut sejak kecil, dan diangkat menjadi murid kesayangan Kyros.

Tubuhnya ringkih seperti tiang kayu yang digerogoti rayap. Setiap langkahnya gemetar, padahal tidak sedang terjadi gempa bumi. Informasi yang dibawanya lebih busuk dari daging unta yang didiamkan dalam waktu lama.

Dengan nafas terengah-engah, Nikandros berusaha menyampaikannya dengan tenang. Supaya Lysandra tak kebangetan sakit hatinya.

“Lysandra…. Kyros…. Mengikat ikatan baru.”

Lysandra tak langsung merespon. Seluruh ruang seakan menahan nafas berbarengan. Angin sepoy yang biasanya masuk lewat jendela, tiba-tiba kehilangan keberanian untuk masuk. Dengan nada datar, namun tajam. Seperti pedang Sparta yang siap membunuh musuh-musuhnya.

“Dengan siapa?”

Nikandros menelan ludah. Sampaikan dengan jujur, atau kutahan sampai Kyros jujur sendiri dengannya. Lisannya menghampiri telinga Lysandra, sambil tengok ke kanan dan ke kiri. Memastikan tidak ada seorang pun yang mendengar. Kecuali para dewa.

“… Dengan Dione. Gadis belia dari Akademia. Katanya seorang penafsir mimpi. Kyros bilang… ia butuh ilham baru untuk memperluas jangkauan dakwahnya.”

“Terima kasih, Nikandros.”

Sebagai istri, ia tidak marah. Apalagi benci. Kemarahan adalah mata air yang sejak lama mengering dalam dirinya. Hanya kopi hitam pahit yang tersisa, yang biasanya dimiliki Perempuan yang terlalu sering ditipu-daya dengan lisan manisnya.

Buah bibir seperti ini sudah tersebar luas di Aurelia. Lebih cepat dari wabah Covid-19. Dalam waktu seminggu, Kaisios menjadi bahan bisik-bisik kota. Setiap sudut kuil, pasar, hingga balai pemerintahan menuturkan kabar itu dengan versi berbeda-beda.

“Kaisios mendapat petunjuk Ilahi untuk menanam benih lagi demi memperluas ladang panennya.”

“Petunjuk Ilahi? Alah, itu mah cuman uraian halus dari lelaki academia yang kebelet melihat benih produk impor.”

Namun, seperti selalu terjadi di kota-kota yang dibangun atas dasar mitos dan kepatuhan buta terhadap dogma abstrak. Tetap saja, Kaisios akan disanjung sampai kematiannya.

Namanya dipahatkan di pilar marmer putih kuil-kuil yang ada. Mulai dari kuil swasta hingga kuil negeri. Wajahnya dicetak pada koin belanja dan digunakan untuk bertransaksi. Para pengikut setianya memperluas cerita bahwa kaisios tidak sedang menanam benih, tetapi sedang “menjalankan perintah dewa.”

Aurelius Bukan Anak Bodoh!

Sementara itu, di rumah, Lysandra menjalani perannya seperti dewi rumah tangga yang patungnya diletakkan di sudut altar rumah. Penting bagi kesucian keluarga, tetapi selalu diabaikan para pendoa. Ia membersihkan altar keluarga. Menggosok lantai rumah hingga berkilau. Dan menyiapkan makanan untuk anak mereka. Aurelius yang kini berusia tujuhbelas tahun, sudah mulai mengerti bahwa ayahnya puulang hanya ketika bulan malas bersinar saja.

Putranya tidak tahu “benih impor”, tetapi ia peka terhadap aroma rumah yang mulai berbeda.

“Ibu… mengapa ayah lebih sering di academia?”

“Ayahmu sibuk memintarkan Masyarakat kota, Nak.”

Aurelius bukan anak bodoh. Ia mewarisi kepekaan ibu dan kecermatan ayahnya. Secara diam-diam ia mencatat sesuatu yang orang dewasa sering tangguhkan. Ayahnya semakin harum dengan dupa asing dan semakin lupa pada aroma rumahnya.

Diam-diam Lysandra merenung sendirian di depan Api. “Istri Sang Kyros” yang tak pernah ditanya, dan tak pernah dianggap penting dalam Keputusan suci itu, mulai menyadari bahwa hidupnya bukan lagi rumah tangga. Hidupnya kini adalah naskah tragedy, ditulis oleh tangan yang menganggap dirinya utusan Zeus. Dengan tatapan kosong, ia berdiri perlahan. Meskipun harus menyandarkan tangannya di tangga-tangga tempatnya duduk.

“Kapan ia menanam benih impor itu?”

“Seminggu lalu, Lysandra,” di depan dua saksi academia. Sungguh… aku tidak tahu bagaimana memberitahumu.”

Lysandra tersenyum getir. Bukan senyum Bahagia, melainkan senyum Perempuan yang akhirnya melihat momok asli pria yang selama ini ia rawat, suapi, temani, dan doakan. Senyum itu kecil, tetapi cukup untuk memecahkan keheningan rumah yang serasa seperti Akademia Khowaizyn.

“Jangan bersedih, Nikandros,” ini bukan pertama kalinya pria suci mengotori nama langit demi kepentingan dunia.”

Lysandra pergi dengan wajah datar. Tak senyum, dan tak merengut kecewa. Langkah demi langkah, ia masuk perlahan ke dalam kamarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *