Benarkah Islam Patriarki?

Benarkah Islam Patriarki?

Pendahuluan

Permasalahan mengenai patriarki dalam Islam sering kali menjadi isu yang hangat untuk dibahas. Ada sebagian orang yang menganggap Islam itu kental dengan budaya patriarki, sebab melalui kacamata sejarah selalu mengedepankan seorang laki-laki. Kekuasaan, Keturunan, hingga Firman Tuhan terlampau patriarki.

Di sisi lain ada sebagian yang berpendapat Islam itu mengangkat derajat perempuan. Bisa kita lihat bagaimana perempuan sebelum Islam datang, dianggap hina, kotoran, hingga tak layak hidup.

Hal ini menyebabkan timbulnya perdebatan panjang dan sering kali tak kunjung usai. Padahal jika diperdalam banyak sekali tokoh terkemuka Islam yang hadir sebab perempuan.

Agama, salah satu pilar peradaban umat Manusia yang mana sering kali ditafsirkan dan dipraktikkan dalam kerangka patriarki.

Dalam lintas Agama pasti terdapat teks-teks suci yang membahas gender dalam lingkup sosial maupun spiritual.

Namun, penafsiran teks suci itu dipengaruhi oleh konteks sosio-politik yang didominasi laki-laki. Alasan inilah yang menjadi sebab tidak selesai-selesai perdebatan tentang ini.

Wacana Patriarki dan Agama

Patriarki?
Benarkah Islam Patriarki?

Patriarki adalah Sistem Sosial di mana laki-laki mempunyai otoritas tertinggi dalam berbagai ranah seperti keluarga, politik, dan ekonomi.

Dalam konteks sejarah, hampir seluruh peradaban cenderung memiliki sistem patriarki. Hal ini juga sesuai dengan Islam. Sistem keturunan dalam Islam pasti bin nya ke laki-laki hampir jarang ditemukan bin kepada perempuan.

Dalam sistem politik Islam hampir seluruh literatur mengedepankan laki-laki dari pada perempuan, dan perempuan pasti selalu menjadi selir.

Namun, penting untuk di ingat kembali bahwa semua itu sangat dipengaruhi sosio-politik yang terjadi. Sehingga banyak sekali kekeliruan dalam memahami teks-teks langit.

Harus ada upaya untuk membedakan antara patriarki yang bersifat struktural (ditegakkan hukum dan sistem sosial) dan patriarki yang bersifat budaya (dilestarikan norma dan tradisi) dalam arti lain “Teks-teks suci”.

Sejak manusia mulai paham tentang peradaban, ada satu aturan tak tertulis seakan-akan menjadi hukum alam: Laki-laki berkuasa, Perempuan mendukung di balik layar.

Kalau ditanya peradaban mana yang tak mengenal patriarki? Dari sejarah Filsafat ditulis mulai dari Pra Sokrates hingga Renaisans semuanya laki-laki. Hingga kisah-kisah mitologi yang hanya menganggap Perempuan sekedar alat reproduksi pelanjut keturunan.

Tak hanya itu, agama pun demikian. Pengajian selalu dipimpin oleh Kyai sedangkan perempuan bertugas menyiapkan hidangan hangat.

Dalam lingkup tertentu, peran Perempuan diatur dengan sangat rinci: kapan masak dan kapan hidangkan. Sementara laki-laki? mereka hanya duduk manis menunggu hidangan datang, dengan dalih “Saya sudah cape bekerja”. Hal ini sudah menjadi kebiasaan yang lumrah dalam literatur sejarah.

Sebab katanya semua itu sudah “Kodrat”, semuanya punya perannya masing-masing. Singkatnya, patriarki bukan sekedar sistem sosial, melainkan hampir menjadi “Hukum Absolut” yang sulit dibantah dan sudah dianggap wajar.

Islam dan Patriarki, Apakah Kontroversi?

Islam adalah Agama yang terbilang sudah cukup tua sekitar 1400 tahun lebih, tentu sulit untuk keluar dari perdebatan ini.

Banyak yang berteriak bahwa Islam sangat mendukung patriarki! Semua firman Tuhan diturunkan kepada laki-laki!, pemimpin terkemuka pun laki-laki!, segala aturan berpihak pada laki-laki!, Perempuan? entah di mana kedudukannya.

Dalam konteks warisan laki-laki mendapatkan satu bagian, sedangkan perempuan hanya setengah dengan dalih “Ad-dzakaru mitslu hazzil untsayain”, laki-laki diperbolehkan poligami sedangkan perempuan dilarang untuk poliandri berdasarkan “Fangkihu maa thooba lakum minan-nisaaa-i masnaa wa sulaasa wa ru bba'”. Karena teks-teks langit ini lah, Islam dipandang sebagai Agama yang “Patriarki”.

Namun, di sisi lain semua teks-teks langit seperti diatas harus dipahami secara komprehensif. Sekarang kita lihat menggunakan kacamata sejarah Pra Islam.

Perempuan di zaman jahiliyah kedudukannya sangat hina, bayi perempuan yang lahir akan dibunuh, perempuan yang sudah dewasa hanya dijadikan budak seks dan tidak mendapatkan harta waris, hak otoritas lelaki untuk menikahi banyak perempuan, sungguh mengenaskan bukan!.

Dalam peradaban persia, perempuan yang melakukan kesalahan akan dijatuhkan hukuman seberat-beratnya hingga tak segan-segan untuk membunuhnya, perempuan haram menikah dengan laki-laki yang bukan penganut ajaran Zoroaster (Agama kuno Persia), sedangkan lelaki bebas menikah dengan siapa saja.

Kodrat perempuan yang sudah baligh adalah keluar darah haid, di persia perempuan yang haid pasti diusir keluar kota untuk menjalankan isolasi.

Sebelum masuknya Islam kedudukan Perempuan sudah tidak berharga lagi, tidak ada kesetaraan, tidak ada keadilan.

Diperlakukan tidak sebagaimana mestinya, seolah bukan Manusia. Kedudukan mereka hampir mirip dengan hewan dan budak, bebas diperlakukan bagaimana saja.

Dalam kondisi yang tidak humanis seperti itu, Islam hadir sebagai Agama yang “Rahmatan Lil ‘Alamin” dengan membawa ajaran-ajaran humanisme, termasuk dalam hal mengangkat derajat Perempuan setinggi-tingginya.

Sistem sosial ketika Islam datang berubah drastis, tidak ada lagi bayi perempuan yang dibunuh sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 31 yang berbunyi “Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin,”.

Kesimpulan

Islam bukan sebuah Agama yang secara inheren patriarki, melainkan Islam lahir di lingkaran sosial yang sudah berbudaya patriarki dan memberikan reformasi bertahap terhadap struktur tertentu.

Teks-teks suci seperti Al-Qur’an dan Hadits sudah menyediakan kerangka hukum, sosial yang membuka ruang untuk kesetaraan.

Namun, teks-teks tersebut dipahami melalui tafsir bersifat konservatif dan berbasis pada norma-norma patriarki pra-Islam, maka akan terus menerus Islam dilihat sebagai sistem yang menempatkan laki-laki setinggi mungkin dan parahnya dianggap agama yang mengeksploitasi perempuan.

Begitu pun sebaliknya, jika teks-teks suci itu ditinjau secara komprehensif, maka ajaran Islam dapat menjadi landasan bagi kesetaraan gender yang berdasarkan spiritual dan kondisi sosial.

Perdebatan yang alot ini sebenarnya dapat melihat cara pandang masyarakat muslim dalam memahami dan menerapkan teks suci secara komprehensif.

Pertanyaan selanjutnya bukan “Apakah Islam Patriarki?”, melainkan “Apakah mayoritas muslim siap untuk memahami dan mempraktikkan teks-teks suci dengan cara yang komprehensif berbasis liberte, egalite, fraternite?”.

Alief hafiz
Alief hafiz

"Scribo Sic Existo"

Articles: 33

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *