Post-Truth

Agama yang Terlunta di Era Post-Truth

Selamat pagi amatirean sekalian. Karena akhir-akhir ini dunia maya dihebohkan dengan celotehan media terhadap dunia pesantren, makanya gua pengen mencoba untuk menulis. Barangkali tulisan gua ini masih berhubungan dengan fenomena yang terjadi. Mari kita mulai!

Saya pengen kalian memejamkan mata kemudian membayangkan hal ini. Matahari muncul dengan keadaan malu, tiba-tiba pagi hari kita dimulai dengan tumpukan notifikasi semalam. Tau apa yang terjadi? Substansi abadi sudah kalian gadaikan dengan gadget.

Yes, tepat sekali. Dalam mimpi Niezsche akan berkata “Tuhan telah mati”, digantikan dengan notifikasi dan algoritma, sebuah mesin tanpa kesadaran yang menentukan hidup matinya kita sebagai manusia. Apakah kalian masih memejamkan mata? Jika masih, mimpi ini masih berlanjut.

Jika pada abad 19, Niezsche mengumandangkan “Kematian Tuhan” sebagai peringatan akan runtuhnya nilai-nilai transenden dalam The Gay Science, maka di abad 21 ini, kematian itu menemukan bentuk banalitasnya, scrolling tanpa batas, dan tak sadar kalo Dia memperhatikan kita.

Sekali lagi saya ingatkan, “Tuhan telah Mati”, bukanlah peristiwa metafisik, melainkan tragedi epistemik yang lumrah di sekitar kita. Dunia saat ini, sudah semakin kehilangan gravitasi moralnya, dan agama tak lagi menjadi poros utama.

Pertanyaan yang kini muncul dibenak-ku, bukan apakah benar “Tuhan telah mati”. Ada yang lebih cocok untuk sekarang, “Agama yang terancam Mundur”, benar atau tidak?

Agama di Tengah Banjirnya Informasi

Setelah beberapa hari lalu, saya membongkar perkara “Apakah Tuhan Sedang Bermain Dadu?” Atau “Kita yang Sedang Mempermainkannya?”, maka sekarang saya akan menguliti sedikit mengenai “Agama”. Saya tidak akan bertanya, apa agama kalian? Karena itu wilayah privasi. Tapi saya akan mempertanyakan, bagaimana cara kalian beragama?

Kita hidup di masa kebenaran sudah kehilangan porosnya. Dunia digital yang semula dijanjikan sebagai ruang keterbukaan dan demokrasi informasi, saat ini berubah menjadi Samudera Klaim dan Opini Liar yang saling beradu-domba. Alih-alih menemukan makna, kita justru tenggelam dalam lautan “kebenaran versi masing-masing”

post-truth
Lukisan yang bebas kalian maknai

Saya menyebutnya “Post-Truth”, selamat datang. Kalian hidup di era yang sangat kelam, menghadapi berbagai macam krisis kepercayaan. Tak ada lagi kepercayaan Tunggal, karena kalian menciptakan kepercayaan versi kalian masing-masing.

Lee Mclntyre menulis dalam bukunya Post-Truth, manusia modern kini lebih percaya pada “otoritas informasi” dari pada bukti empiris. Menurut tafsir sederhana saya, kebenaran ditentukan oleh sosok yang kita percaya, bukan apa yang benar secara empiris.

Ketika seorang tokoh memiliki jutaan followers, ditambah dengan khutbah agamanya, maka gelombang kepercayaan publik akan terarah kepadanya. Tak lagi melihat benar atau salah, sesuai atau keliru. Mari kita amati dari gadget masing-masing.

Coba buka beranda Instagram, Facebook, TikTok atau Youtube kalian. Kajian agama kerap kali bersanding dengan berita-berita nakal, mulai dari AZ ke Nusakambangan, sampe teori konspirasi akhir zaman. Dan judul yang ditampilkan menggebu-gebu sekali, “KIAMAT SUDAH DEKAT! KEMAKSIATAN DINORMALISASI! PARA KYAI DIHINA DAN DICACI!”. Tidak ada alasan, bagi kita tidak mengkliknya.

Semua tertuju padanya, dan otomatis “otoritas tunggal” ada padanya. Padahal kalo diliat dengan kacamata “Ahli SEO”, ini namanya Atensi, membuyarkan fokus umat pada informasi tertentu. Dan seketika, manusia-manusia Fomo bermunculan, dan saling beradu taring argumentasi yang tak berdasar.

Byung-Chul Han, dalam karyanya The Transparency Society, menulis bahwa dunia digital menghapus jarak antara Sakralitas dan Banalitas.

Maka jangan heran, jika Agama kehilangan dimensi sakralnya.

Ketika Kekuasaan dan Algoritma Menggantikan Iman

Dunia pos-truth hari ini menampilkan lanskap baru bagi agama. Jika dulu kebenaran dilihat berdasarkan wahyu suci, kebudayaan, dan otoritas suci, sekarang semuanya ditentukan Popularitas dan Algoritma. Di titik ini, saya akan mengupasnya menggunakan tiga pisau analisis, Foucault dan Baudrillard. Tadinya mao nambahin Niezsche, cuman saya sudah terlalu banyak memakainya. Jadi saya tidak pakai untuk sekarang.

Kebenaran sebagai produk kekuasaan

Michel Foulcault menegaskan bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang netral atau universal. Ia menulisnya sebagai regime of truth, sebuah sistem yang menentukan sesuatu yang dianggap benar dan sosok yang mengucapkannya. Dalam konteks hari ini, kebenaran dipegang oleh mereka yang punya popularitas dan pemilik platform.

Mereka yang menguasi itu semua bisa menjadi penguasa baru dengan mengatasnamakan “Agama”. Logika clickbait dan engagement membentuk masyarakat dengan mengklaim “Kebenaran Agama”. Kekuasaan tidak lagi menindas secara langsung, tapi menembus sampai cara berpikir dan cara mempercayai.

Simulakra dan Citra Kesalehan

Jean Baudrillard menulis bahwa masyarakat modern hidup dalam dunia simulakra, citra menggantikan realitas. Kita tak lagi butuh kebenaran, tapi dengan representatif dari kebenaran tersebut. Kesalehan, kini menjadi performatif, sesuatu yang ditampilkan, bukan sesuatu yang dijalani.

Sedikit pemahaman yang bisa saya bagikan, bahwa kapitalisme kerap kali memanfaatkan konstruksi pikiran imajinatif manusia untuk meningkatkan konsumerisme hingga akhirnya muncul dunia simulakra yang memiliki implikasi kuat.

Agama yang semula menjadi sumber makna dan moralitas, sekarang direduksi menjadi komoditas simbolik—dijual dalam bentuk gaya, tren spiritual, dan citra kesalehan.

Menuju Kesunyian Makna Spiritual

Hidup di era post-truth memang membagongkan, krisis makna terjadi tanpa henti. Malah semakin hari, semakin sulit untuk membedakan, mana yang benar dan salah. Di tengah kekacauan semacam ini, agama pun ikut terbawa arus, terjebak dalam samudera viralitas.

Idealnya Agama sudah tergadaikan. Agamanya tidak salah, tapi oknum beragamanya yang salah memahami agama yang dianutnya. Seyogyanya, agama adalah “panduan” bagi manusia untuk kembali memahami makna spiritualnya.

Spiritualitas sejati, seperti yang dituliskan Thomas Merton, spiritual tidak terletak pada “keramian religius”, tapi inner silence—keheningan batin yang memungkinkan manusia mendengarkan Sang Ilahi.

Kita perlu sama-sama merevitalisasi agama, bukan dengan memperbanyak konten, tetapi dengan refleksi mendalam. Dengan situasi dan kondisi yang seperti ini, agak-agaknya saya setuju dengan statement RG di satu kanal Youtube, kata dia gini:

“Demokrasi adalah permainan untuk orang-orang yang rasional, sedangkan Agama adalah permainan untuk orang-orang irasional,”

Bacaan singkat dari: Nietzsche, F. (1974). The Gay Science., Foucault, M. (1980). Power/Knowledge., Baudrillard, J. (1981). Simulacres et Simulations.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *