Bersedekahlah

BERSEDEKAHLAH! Menjaga Fetisisme Religius Modern

Sore itu, saat matahari baru saja ingin beristirahat sejenak, sedangkan saya masih mondar-mandir mencari rokok Surya merah di warung madura dekat rumah.

Seketika, saya disambut dengan baliho besar, dengan bangunan masjid yang belum sempurna terpampang besar di dalamnya. Ada yang membuat saya bertanya-tanya, baliho ini berfungsi untuk membuka promo besar-besar akhir tahun? Atau mengajak umat untuk bersedekah?

“INVESTASI AKHIRAT!!!”, dengan tiga tanda seru. Tanda seru yang menjadi simbol perintah wajib, dan dosa ketika melanggarnya.

Sekilas, kalimat tersebut terlihat biasa-biasa saja. Tapi entah mengapa dada saya serasa sesak, bukan karena saya ada riwayat penyakit asma, melainkan adanya kejanggalan pada kalimat tersebut.

Hingga saya berpikir, keimanan di era modern ini sedang diperjual-belikan dengan jasa copywriting handal dan menarik perhatian. Agama yang seharusnya hadir dari keresahan batin masyarakat, kini tampil dalam bentuk jargon Religiusitas.

Fenomena aneh di atas, memunculkan pemantik untuk kita diskusikan bersama. Apakah kini, surga mempunyai tiket masuk? Atau amal ibadah bisa disebut tiker masuk ke dalam surga? Tolong dipikirkan ulang dan dikaji bersama.

Bahasa sebagai Manifesto Makna

Sebagai permulaan, saya akan menggunakan sudut teologis. Istilah investasi akhirat yang tadi saya temukan, terlihat tidak keliru. Pergeseran makna kalimat itu terjadi ketika unsur suci sudah mulai dikemas dengan Landscape “Kapitalisasi Agama”. Agama modern saat ini, berbicara menggunakan diksi provit, tabungan, dan saham pahala.

Dalam sistem kapitalis, sebagaimana yang dituliskan Marx di dalam Das Capital, segala bentuk yang bernilai guna (use value) akan merubah menjadi komoditas dengan nilai tukar (exchange value). Fenomena ini kerap menyentuh agama juga. Kini diksi “Amal Jariyah” direduksi menjadi nilai tukar simbolik, seperti pahala, donasi, promosi sosial.

Kendati demikian juga berhubungan dengan Religius, yang kini mengadopsi terminologi pasar, investasi akhirat lah contohnya. Di dunia modern bentuk ini menjelma menjadi fetisisme komoditas. Menjual ayat suci untuk kepentingan pribadi.

Fenomena seperti ini, Ludwig Feuerbach menyebutnya sebagai alienasi religius, sebuah proyeksi manusia mengenai esensi dirinya ke dalam imajinasi Tuhan (imaginari deity). Mirisnya, di Abad XXI saat ini maknanya menghilang dari refleksi filosofisnya.

Padahal, mereka yang mengklaim sebagai orang yang beragama, seharusnya membebaskan diri dari kerakusan duniawi, dan justru terjebak dalam pola yang sama. Beribadah mengharap bebas siksa, dan bersedekah demi Popularitas.

Kiai-kiai tenar sering berkhutbah dengan kalimat “Bersabarlah, sesungguhnya Allah sudah menentukan rezeki kita semua, syaratnya kalian terus menunaikan ibadah kepada-Ku”. Ceramah-ceramah seperti ini, usaha untuk menenangkan kelompok mustadafin dengan janji surga, sembari membiarkan ketimpangan yang terus berkeliaran di sekeliling kita.

Analisis Marx: Dari Nilai Guna ke Nilai Tukar

Untuk memahami transformasi makna yang terlihat seperti alat tukar barang, menggunakan kerangka berpikir Marx agak-agaknya menjadi relevan. Dalam Capital, Marx menuliskan gagasan mengenai komoditas.

Ada dua jenis, Nilai Guna (use value) dan Nilai Tukar (exchange value). Jika diterapkan dalam konteks keagamaan, “amal jariyah” semestinya memiliki nilai guna spiritual, membantu sesama, menciptakan kebaikan, dan menghubungkan manusia dengan nilai-nilai ketuhanan.

Namun, ketika diksi tersebut dipromosikan dengan bahan pasar, maknanya bergeser menjadi nilai tukar, amal menjadi alat untuk memperoleh status, dan klaim sosial.

Dengan arti lain, diksi “amal jariyah” direduksi menjadi komoditas simbolik. Produk tak berwujud yang dapat ditukar dengan legitimasi moral, citra kesalihan, bahkan kapitalisasi sosial. Contoh konkretnya sudah beredar di forum-forum keagamaan. Studi kasus di atas contohnya.

Dalam konsep Marx, ini adalah bentuk commodity circulation yang memindahkan nilai guna menjadi nilai tukar. Sehingga ibadah tidak lagi sekadar perbuatan etis, tetapi menjadi “produk” yang diperjual-belikan di ruang sosial.

Agama sebagai Aparatus Ideologi

Kalau kita mengikuti Louis Althusser, agama bukan hanya tempat ritual atau bahkan curhat spiritual kepada Sang Penggerak Awal. Dalam kerangka pemikirannya, agama disebut Ideological State Apparatus (alat penjinak masyarakat). (Althusser, 1971)

Ketika kita melihat Jargon yang hampir sama seperti di atas, tampak jelas bagaimana bahasa agama ikut menormalisasikan logika jual-beli.

Kalimat investasi saja sudah membawa aroma-aroma kapitalisme tahap lanjut. Ada modal dan ada keuntungan. Bedanya, kali ini yang menjadi obyek investasi adalah “pahala”. Produk abstrak yang sulit untuk diaudit. Althusser mungkin akan tersenyum getir melihat fenomena demikian.

Pada titik ini, kita bukan lagi melihat agama sebagai ruang transendensi. Agama berubah bentuk menjadi etalase, lengkap dengan branding, soft selling, dan bonus akhirat. Dan masyarakat, sebagaimana yang dituliskan Althusser, mereka menerima semua itu sebagau sesuatu yang sudah semestinya.

Dampak Sosial dan Psikologis Pada Umat

Fenomena-fenomena mengerikan yang tampak nyata di hadapan kita, membuat saya merenungi fungsi agama untuk masyarakat. Adanya sistem jual-beli mengatasnamakan “Agama”, sangat berdampak pada saudara kita dari kelompok mustadafin.

Kelompok yang hidup dalam tekanan ekonomi, sosial, dan struktural. Alih-alih diperjuangkan melalui perubahan sistemik, mereka justru sering diarahkan untuk memikul beban spiritual tambahan. Bersabar, menerima, takdir, dan tetap ikhlas dalam setiap cobaan.

Ungkapan yang kerap diucapkan tokoh-tokoh agama, yang datang ke masjid dengan mobil dan pakaian mewah. Kemudian berceramah, “Bersabarlah para muslimin/muslimat. Bersedekahlah, Allah pasti akan menggantinya dengan berlipat ganda.”

Berceramah dengan persiapan yang sangat mewah. Padahal, di sekelilingnya, masih banyak umat yang kelilit hutang, dikejar-kejar Bank keliling, dan terjerat angsuran kendaraan.

Mereka tidak butuh ceramah singkat dari kalian. Mereka membutuhkan bantuan nyata dari kalian yang tukang ceramah. Masa kalah sama pemerintah, rela mengeluarkan modal banyak demi suara.

Mereka sudah tertindas dengan ekonomi yang rendah. Jangan kalian tambahkan dengan beban spiritual yang mengharuskan mereka menerima keadaan tersebut sebagai ibadah.

Padahal, Farid Esack, pernah menuliskan bahwa ketidakadilan bukanlah fenomena spiritual, tetapi fenomena sosial yang harus dilawan dan dibebaskan. (Esack, 1997)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *