musik dan lagu

Musik dan Lagu Bukan Sekadar Bunyi! Dari Romantisme ke Karmageddon

Selamat Malam Amatirean. Mulai malam ini hingga seterusnya, gua akan mencoba menghibur kalian dengan seluruh resep dapur yang gua punya.

Sorry juga, kalo sudah beberapa bulan, gua gak pernah update ini Website. Sebab, ada hal-hal yang gak mungkin gua jabarin secara gamblang di sini.

Malam ini, gua coba akan mengajak kalian semua para pembaca untuk berpikir, apakah musisi menciptakan lagu, seperti membuat Nutrisari rasa jeruk? Buka bungkusnya, siram air, lalu aduk hingga merata.

Ataukah Musisi itu menciptakan lagu menggunakan berbagai macam indikator, Filsafat misalnya? Hal ini penting untuk dipikirkan, karena menjadi seorang pencipta itu tidak mudah, mereka harus memikirkan Bagaimana bisa bermanfaat? Mengapa layak diciptakan? Apa alasan untuk menciptakan semua itu?

Pertanyaan-pertanyaan di atas gua dapetin ketika dapet rekomendasi Lagu dari temen gua yang di Cengkareng. Sebut saja (IM)

Suasana ramai melingkari St. Rawa Buaya. Banyak orang-orang pulang kerja, banyak tukang parkir yang mendadak jadi Raja, dan banyak tukang jajanan yang menunggu pelanggan datang.

Di tengah keramaian itu, datanglah seorang Pria berjaket krem dan memegang sebungkus rokok Signature di tangannya. Ia menepuk pundakku, terus ngomong “Ada judul lagu, Karmageddon,” katanya.

Jangankan tau penyanyinya, denger lagunya saja belom. Seketika gua jadi penasaran tentang lagu itu. Karena biasanya, gua cuman dengerin lagu Iwan Fals atau Dewa 19.

Jejak Sejarah “Musik”

Belom lama gua baca Buku berjudul “Bercermin Pada yang Sudah” karya Berto Tukan, seorang Penulis, Penyair, Sastrawan, dan Peneliti profesional.

Dalam bukunya, Berto menuliskan “Musik adalah penyembuh jiwa. Begitu Phytagoras pernah berujar,” seolah Dokter yang bertujuan untuk menyembuhkan pasiennya.

Setelah memakan sepotong daging itu, saya jadi teringat pada perdebatan besar yang terjadi di era Romantisisme. Apa yang diperdebatkan, tak lain dan tak bukan adalah Musik.

Akhir abad ke-19, dunia eropa dilanda perdebatan sengit mengenai dua pandangan besar yang saling adu otak. Musik Absolut dan Musik Program.

Ocehan berisi daging ini tidak hanya berkutat pada komposisi, melainkan memporak-porandakan fondasi pengetahuan manusia, Apakah musik itu? dan Bagaimana manusia memahaminya?

Dua kubu ini berusaha untuk memberikan pemahaman, seni yang lahir dengan keindahan yang murni, seni yang lahir bertujuan untuk keindahan berbalut cerita. Bahkan lebih dalam dari itu, bunyi sebagai tujuan suatu karya dan bunyi sebagai bahasa suatu karya.

Absolutisme Musik

Para pendukung Musik Absolut mereka meyakini, kalo musik itu tidak bisa menyampaikan emosi atau menyampaikan gambaran kepada pendengar. Karena “Absolut”, maka musik ini bersifat Mutlak dan non-representasional dari diri seorang musisi.

Ide ini pertama kali tumbuh dalam tradisi Romantisme Jerman di akhir abad 18. Para ulama mereka menempatkan musik di posisi tertinggi dalam aspek “Seni”. Karena dianggap sebagai bahasa “tanpa diucap” dapat menembus batas nalar seseorang.

E. T. A. Hoffmaan seorang ahli hukum, bahkan kritikus musik yang hidup di zaman Romantik, menyebut karya Beethoven sebagai “Wahyu dari dunia yang lebih tinggi”.

Music does not express this or that particular and definite pleasure, this or that affliction, pain, sorrow, horror, gaiety, merriment, or peace of mind, but joy, pain, sorrow, horror, gaiety, merriment, peace of mind themselves, to a certain extent in the absract, their essential nature, without any acessories, and so also without motives for them.” Arthur Schopenhauer (Artikel Berjudul Memaknai Musik ala Schopenhauer)

Kita sering menganggap bahwa musik itu adalah medium seseorang untuk berekspresi dengan bebas, dan kerap menjadi medium paling populer di zaman modern seperti ini.

Sebaliknya, Schopenhauer memandang ada “Kejanggalan” dari ekspresi yang dirasakan dan kemudian disebut sebagai “Emosi-Impersonal”.

Bukan emosi yang menjadi nyawa dalam musik/lagu, itu namanya Motif. Ketika seseorang merasakan bahagia, sedih, amarah, bahkan terkesan sesuai dengan realita Indonesia, itu hanya motif semata.

Keindahan Musik dari Makna

Bacaan saya selanjutnya, adalah kubu yang percaya kalo musik itu harus mengekspresikan sesuatu, dari sini akan muncul Estetika sendiri. Bahwa musik bukan hanya keindahan bunyi, tapi keindahan Lirik yang menghubungkan Dimensi manusia dengan realita yang terjadi. Musik Program namanya.

Ulama berpengaruh dalam tradisi ini, Hector Berlioz, dengan karya monumentalnya Symphonie fantastique (1830). Jika kalian menontonnya, pasti kalian akan merasa senang, gembira, dan semangat.

Padahal ada historical pedih dibaliknya, sebuah simfoni yang menceritakan kisah seorang seniman muda dengan tempramen sensitif, dan imajinasi yang berapi-api meracuni dirinya sendiri dengan opium karena Cinta.

Dukungan terhadap pandangan ini datang dari Friedrich Nietzsche dan G.W.F. Hegel. Nietzsche muda memuja Wagner, memandang musiknya sebagai ekspresi paling autentik dari kehendak untuk hidup.

Bagi Hegel, seni (termasuk musik) adalah bentuk ekspresi Roh Absolut, sehingga nilai musik terletak pada kemampuannya untuk menghadirkan gagasan manusia ke dalam bentuk yang dapat dirasakan.

Musik, dalam pengertian ini, bukan semata “bunyi,” tetapi perwujudan gagasan dan perasaan manusia yang konkret.

Kedua ragam ini sebenernya memicu api “Kompromisasi” antara kelompok yang meyakini bahwa musik itu bersifat Absolut dengan kelompok yang meyakini bahwa musik itu bisa menjadi medium mengekspresikan diri.

Sehingga, menurut isi kepala saya yang terbatas ini, kelompok kedua lebih terlihat dan diterima di era modern seperti saat ini. Berapa banyak orang yang menangis, gembira, dan marah ketika mendengarkan musik.

Artinya, musik/lagu sudah melaksanakan fungsinya, yaitu “Membantu orang untuk mengekspresikan dirinya” sesuai dengan kutipan yang ada di dalam buku Berto. Cocok.

Karmageddon By Iyah Mayhem

Kini, lagu bukan hanya menjadi karya seni tetapi seolah sudah merasuk ke dalam tubuh menjadi “Alat Perlawanan”. Seperti “Karmageddon” lagu yang disarankan oleh Pria Cengkareng.

Setelah dua hari saya mendengarkan dan meriset lagu itu, akhirnya isi kepala yang dangkal ini menarik kesimpulan, kalo lagu ini menggambarkan kondisi sebuah negara yang dipimpin oleh manusia bejat yang menggunakan otoritasnya seenak pantatnya saja, tanpa rasa tanggung jawab sedikit pun.

Mayhem, sang musisi tidak sekedar menulis lagu. Ia menciptakan ruang diskusi yang menjelma menjadi sebuah lagu. Setiap bait yang diucap, ada denyut moral dan intelektual tentang karma yang datang tanpa salam, tentang dunia yang retak oleh hegemoni penguasa, dan tentang jiwa manusia yang terus mencari makna di tengah krisis nurani.

Ada lirik yang saya suka, “Welcome to the chaos of the times,” seketika saya sedang menatap masyarakat modern. Kekacauan menjadi tatanan baru, dan kebenaran sudah kehilangan rumahnya.

Sebagaimana disinggung olehnya di postingan Instagramnya, gini katanya:

Welcome to the chaos of the times.
Where it feels like the whole world has gone crazy.
Where the truth is beneath buried mountains of subtle deceptions and blant lies.
Where it feels like our ‘leaders’ and governments let us down and are paid off.
Where it feels like profit and power and greeds the world.
And yet, there is every reason to not lose hope. There are warriors and healers and leaders that fight for good.
There are people who actually give a sh! t and will spend their fighting in the light.

Indonesia. Rasanya sama saja. Ketika banyak masyarakat yang tak terurus, para penguasa hanya tertawa ria mendapatkan info gaji naik.

Keironian di Indonesia jadi terasa. Orang-orang berbaring di trotar Proyek tanpa kasur dan bantal, kelaparan dan kehausan. Apakah mereka peduli? Jagat massa dihebohkan dengan informasi “Pejabat Publik sibuk berdansa-dansa diiringi lagu tabola-tabole.”

Mayhem mengajarkan kita tentang “kemanusiaan dan keadilan”, mencoba menyuarakan hasil pengamatannya kemudian ditorehkan menjadi Lagu.

Idealisme yang tetap terjaga olehnya, meskipun hanya seorang musisi. Sama halnya seperti Iwan Fals di Indonesia, Idealismenya digunakan untuk menciptakan lagu.

Nyata sudah, kalo Lagu adalah “Bahasa dengan nilai spiritual tinggi, dan sebagai medium penyaluran ekspresi seseorang”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *